MEMBANGKITKAN BUDAYA LOKAL SEBAGAI IDENTITAS BUDAYA DAERAH

IKebudayaan (culture) sebagaimana yang dikemukakan oleh Ignas Kleden (1987) adalah dialektika antara ketengangan dan kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integrasi dan disintegrasi, antara tradisi dan reformasi. Dalam arti yang lebih luas, tanpa tradisi dan integrasi suatu kebudayaan menjadi tanpa identitas, sedangkan tanpa reformasi atau tanpa disintegrasi kebudayaan akan kehilangan kemungkinan untuk berkembang, untuk memperbaharui diri, atau untuk menyesuaikan diri dengan paksaan perubahan sosial (social change coercion).
Berbicara tentang kebudayaan, selalu dipandang sebagai sesuatu yang khas manusia, baik karena ia manusiawi ataupun karena ia mampu memanusiakan dan karena itu selalu dihubungkan dengan keindahan, kebaikan atau keluhuran. Dengan singkat, hampir tidak ada selisih pendapat mengenai value judgement tentang kebudayaan. Dalam pengertian seperti itu, kebudayaan adalah a pursuit of total perfection (Karober dan Kluckhohn, 1967) dan kebudayaan itu diturunkan sebagai ’warisan yang diturunkan tanpa surat wasiat’ . Akan tetapi, jauh daripada itu, kebudayaan adalah realitas objektif yakni sebagai reality judgement terhadap mana setiap kelompok akan mencari persepsinya, dipertegas dan dijadikan sebagai identitas kelompoknya . Dengan demikian, kebudayaan adalah Aufgabe (tugas).
Menyoal hubungan antara pembangunan dengan kebudayaan, dengan meminjam bahasa Dove (1985) pembangunan diartikan sebagai perubahan yang dikehendaki dan dibutuhkan. Dalam arti bahwa apa saja yang dianggap kuno dan tidak mengalami perubahan dengan sendirinya dianggap sebagai keterbelakangan. Ironisnya, kebudayaan dan gaya hidup tradisional itu juga dianggap sebagai penghalang besar bagi pembangunan sosio-ekonomi (socio-economic development). Lebih daripada itu, sebagai bangsa yang majemuk (plural societies) ada semacam ketakutan dari negara apabila ’identitas kebudayaan’ (cultural identity) lebih terasa daripada ’identitas nasional’ (national identity). Negara khawatir bahwa ’ikatan-ikatan primordial’ (primordial ties) yakni ikatan terhadap tradisi lokal akan menjadi lebih kuat daripada perasaan memiliki negara dan pada akhirnya mungkin akan menggoyahkan integrasi bangsa. Oleh karenanya, dirasa perlu untuk membentuk identitas nasional melalui apa yang disebut dengan kebudayaan nasional. Karena itu, dalam perencanaan pembangunan, salah satu hal yang diusahakan adalah mengutuk dan mengubah, bahkan menyingkirkan kebudayaan tradisional itu. Inilah yang dimaksud dengan dilema kebudayaan (daerah) Indonesia. Disatu sisi ia diharapkan mampu bangkit dan bertahan-sebagai common heritages, sebagai ethnic and local identity -yang memiliki kemampuan menyaring budaya asing, tetapi disisi lain ia justru dianggap sebagai bianglala, tepatnya penghambat pembangunan. Sehingga, dalam konteks yang lebih luas, kita patut bertanya apa yang kita maksud dengan budaya ketimuran kita itu? bukankah kita sudah mengalami degradasi kebudayaan kita?

II

Boleh jadi, adanya kepincangan dalam pembangunan nasional (national development) adalah sebagai dampak daripada keniscayaan kebudayaan dan mentalitas terhadap pembangunan. Dalam bukunya, Koentjaraningrat (1992) menyangkal adanya hubungan antara kebudayaan, mentalitas dengan pembangunan. Disebutkan bahwa kedua varian tersebut-untuk kasus Indonesia-tidak memiliki hubungan sama sekali atau bahkan tidak cocok sama sekali dengan arus modernisasi. Akibatnya, melihat fenomena di Indonesia, Dove (1982) mengemukakan bahwa agen perubahan (agent of change) tidak pernah menganggap masyarakat kebudayaan sebagai ’guru’ tetapi justru ’menggurui’nya dengan hal-hal yang ’dianggap’ baru dan lebih ’beradab’ (civilized) . Oleh karena itu, tidak ayal, warisan-warisan budaya dan sejarah (cultural and historical heritages) daerah cenderung memudar, ditinggalkan, dirusak dan dimusnahkan dan segera digantikan dengan unsur-unsur budaya yang dianggap lebih elegans, bermartabat dan beradab. Bahkan, undang-undang No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) misalnya, ternyata kurang mampu melindungi benda-benda cagar budaya, akibatnya banyak diantara BCB tersebut terlantar, tidak terawat dan musnah .
Dalam satu pemaparannya terhadap pengrusakan terhadap Benteng Putri Hijau Delitua Medan, McKinnon (2008) mengemukakan bahwa Ironis sekali bahwa pada ‘Visit Indonesia Year’ dan pada waktu pemerintah ingin membangkitkan usaha parawisata di seluruh Indonesia, sebagian dari satu warisan budaya dan peninggalan kuno yang menonjol di Sumatera Utara diancam punah. Dalam pada itu, museum sebagaimana yang diberitakan oleh Waspada tanggal 1 Juli 2008 dan Kompas pada 20 Agustus 2008 justru tidak layak dikunjungi. Padahal di museum tersebut dapat dilihat beragam artifak kebudayaan yang menandai aspek kebudayaan dan sejarah masyarakat pada kawasan dimana museum tersebut didirikan. Adalah cukup berbeda dengan eksistensi museum di negara Barat seperti Jerman dimana museum dianggap sebagai old palace dan kota-kota akan merasa bangga apabila museum terdapat dan banyak dikunjungi dikotanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila permuseuman di negara maju berlomba menghadirkan koleksi-koleksi lengkap dari seluruh dunia dan menggangapnya sebagai miniatur global village. Namun, tampaknya, belajar di Museum masih harus dibudayakan pada masyarakat Sumatra Utara.
Menyoal tentang tahun kunjungan wisata Indonesia, mungkin ada baiknya kita menoleh kembali terhadap produk yang ditawarkan yang mampu menarik wisatawan dimaksud. Harus diakui bahwa, wisatawan datang berkunjung ke satu negara bukan lagi untuk melihat keindahan panorama, tetapi lebih dari itu adalah untuk melihat ciri khas daerah dimasa lalu. Konsep yang tepat untuk menjelaskan kenyataan ini adalah dengan menggalakkan wisata budaya dan sejarah (cultural and historical tours). Tetapi persoalannya adalah, banyak artifak dan situs sejarah dan budaya kita yang sudah dirusak hingga tidak ada lagi semacam bukti autentik dimana sejarah dan budaya dimasa lalu pernah dibentangkan. Di negara maju misalnya-tidak tanggung-tanggung-proyek pembangunan kejayaan budaya dan sejarah masa lalu kembali di lakukan seperti yang dilakukan oleh China, Italia, dan bahkan Jerman. Dari sudut ekonomi, sektor wisata sejarah dan budaya ini ternyata mampu menyumbang hingga 0,25-0,40 persen penghasilan negara non taxes.
Dalam penyelidikannya tentang Peranan Kebudayaan Tradisional Dalam Modernisasi yang disunting oleh Michael R. Dove (1985) menyimpulkan bahwa kebudayaan tradisional terkait erat dengan dan secara langsung menunjang proses sosial, ekonomis dan ekologis masyarakat secara mendasar. Lebih dari pada itu, kebudayaan tradisional bersifat dinamis, selalu mengalami perubahan dan karena itu tidak pernah bertentangan dengan proses pembangunan itu sendiri. Menurutnya, adanya kekeliruan terhadap proses pembangunan selama ini adalah karena tidak didasarkan pada evaluasi empiris, baik mengenai perencanaan itu sendiri maupun mengenai kebudayan tradisional dimana rencana-rencana itu diterapkan.
Kesulitan yang dialami oleh bangsa Indonesia dewasa ini terutama menjawab tantangan globalisasi adalah riskannya kebudayaan daerah terhadap pengaruh-pengaruh budaya ’universal’. Masyarakat kita, justru lebih terbuka dan menerima segala sesuatu yang dipertontonkan oleh dunia Barat karena dianggap lebih berbudaya. Sementara itu, kebudayaan yang menjadi simbol masyarakatnya justru dianggap kolot dan tidak pantas diadopsi atau dikembangkan. Begitu mudahnya bangsa ini larut dalam konsumerisme, hedonisme dan seakan melompat pada era postmo . Menyinggung soal konsumerisme yang menggejala pada masyarakat kita, bisa jadi karena rapuhnya pemahaman dan pengetahuan terhadap kebudayaan daerah itu sendiri. Masyarakat kita justru menjadi objek yang disusun dalam kapitalisme global yang dipercepat dengan budaya konsumen (consumer culture) ataupun sebagai budaya massa (mass culture) yang mempertentangkan sesuatu yang dianggap sesungguhnya dengan sesuatu yang dianggap semu. Dalam arti kata ’bagaimana untuk membuat penilaian estetis’ yang terhubung dengan pertanyaan praktis seperti ’bagaimana kita harus hidup?’ (Featherstone, 2001). Dengan begitu, kita justru lebih tertarik untuk minum Cocacola daripada Air Tebu dibawah pohon Beringin, atau makan Spaghetti daripada Rendang Jengkol di warung mbok Inah, atau juga makan KFC daripada makan sate Padang di pinggir jalan WR. Supratman
Dikhawatirkan, moral, etika dan estetika bangsa ini akan runtuh sebagai dampak dan pengaruh budaya global yang bergerak tanpa batas. Dalam pada itu, kebudayaan nasional yang diperjuangkan tidak kunjung ditemukan dan tidak dapat dijelaskan posisinya diantara kebudayaan lokal. Gejala ini sama artinya pada saat kita berbicara tentang nasionalisme kita yang semakin kerdil dan melayu karena nasionalisme itu sendiri tidak mendapat tempat berpijak pada budaya Indonesia. Etnonationalism yang berkembang sebelum deklarasi pembentukan negara bangsa (nation state) dan digantikan dengan konsep nasionalisme negara pasca deklarasi adalah tantangan yang hingga kini belum mampu dijawab. Lain daripada itu adalah terlalu banyak kebohongan dan penyesatan yang dilakukan oleh Sejarah bangsa ini seperti yang disebutkan oleh Foulcher (2000), Resink (1987), Hatta (1970) ataupun Asvi Warman Adam (2007) yang menyebutkan sekitar 25 kontroversi sejarah Indonesia. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa terdegradasinya budaya daerah seakan menjadi jawaban terhadap coercion of cultural universalism yang selama ini dilakukan oleh perencana pembangunan.

III

Budaya lokal sebagai identitas budaya daerah, tidaklah sekedar mampu menyebutkan dan memahaminya, tetapi lebih daripada itu adalah untuk mengupayakannya sebagai sumber inspirasi atau sumber perubahan. Pada tataran konsep seperti ini, kebudayaan adalah sistem gagasan yang harus dikembangkan dan diberdayakan. Selanjutnya, kebudayaan sebagai pola tindakan yakni menjadikannya sebagai acuan perilaku.
Bagaimanapun, dengan meminjam bahasa Ignas Kleden, ’Kebudayaan adalah Agenda Buat Daya Cipta’ yang menonjolkan kemampuan untuk membangkitkan identitas bangsa yang sedang melayu itu.
Menyoroti penelantaran dan pengrusakan terhadap artifak dan situs sejarah dan budaya, yang justru perlu dilakukan adalah preservasi terhadap objek dimaksud dan menjadikkan sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya. Memang, adalah mahal ongkos yang harus dibebankan untuk menghidupkan kembali nuansa masa lalu itu. Tetapi, agaknya kita harus belajar dari Malaysia yang hingga kini gencar berburu aset-aset budaya yang dapat diklaim sebagai warisan budaya mereka meski itu dicap sebagai pencuri kebudayaan. Niscaya, tanpa upaya dan usaha yang gigih, maka mustahil artifak, aksesoris maupun tinggalan kebudayaan masa lalu itu dapat dilestarikan.

Medan, 2 Desember 2008.
Daftar Rujukan

  1. Adam, Asvi Warman. 2007 Seabad Kontroversi Sejarah. Jakarta: Ombak.
  2. Barker, Chris. 2005 Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana
  3. Dove, Michael R. (ed), 1985 Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi. Jakarta: Obor Indonesia.
  4. 1982 Manusia dan Alang-alang. Pola Perladangan di Kalimantan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  5. Foulcher, Keith 2000 Sumpah Pemuda: Makna dan prose Penciptaan Atas Sebuah Simbol Kengasaan Indonesia. Jakarta: Ombak.
  6. Featherstone, Mike 2001 Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Jakarta: Pustaka Pelajar.
  7. Hatta, Muhammad. 1970 Sekitar Proklamasi. Jakarta: Tintamas
  8. Hirst. Paul., 2001 Globalisasi adalah Mitos. Jakarta. Obor Indonesia.
  9. Karober, A.L dan Clyde Kluckhohn 1963 Culture, A Critical review of Concepts and definitions. New York: Vintage Books.
  10. Koentjaraningrat, 1992 Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  11. Kleden. Ignas, 1986 Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
  12. Kompas Harian 2008 Museum Kesulitan Dana, tanggal 20 Agustus
  13. McKinnon, Edmund Edward, 2008 Tanggapan Terhadap Pembangunan Pemukiman di Benteng Putri Hijau, email diterima oleh pussis4unimed@gmail.com. Juli
  14. Resink, G.J 1987 Raja dan Kerajaan Yang Merdeka di Indonesia 1850-1910. Jakarta: Jambatan.
  15. Waspada Harian 2008 13 Museum Tidak Layak Dikunjungi, tanggal 01 Juli
Oleh:
Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan

Makalah dipresentasikan Pada Lokakarya Budpar Sumut di Namurambe 2009

3 Komentar

  1. bagaimana kalau dalam tulisan ini juga dituliskan tentang :

    1. apa yang membedakan antara budaya tinggi dan budaya rendah?
    2. bagaimana terbentuknya budaya pop/budaya massa dalam masyarakat?
    3. dalam budaya pasti ada kaitannya dengan ideology…
    4. lalu, bagaimana ideology tersebut bisa muncul dalam masyarakat…

    tulisan diatas kurang lengkap jadi masih sedikit pemahaman dan konsentrasi untuk menanggapi tulisan di atas…

    terima kasih….

    • Terimakasih atas tanggapannya.
      1. Ungkapan budaya tinggi dan rendah itu untuk menunjuk kepada segi peradaban. Misalnya Jawa yang lebih dianggap berbudaya tinggi karena kesantunan dan kehormatan yang ada pada budaya itu.

      2. Budaya Pop terbentuk akibat suatu ideologi yang menyatakan bahwa budaya sekarang/kontemporer itu adalah citra masa kini, kamajuan dan komodernan. Tapi budaya pop itu cenderung mengunggulkan konsumerisme dan mengikis budaya tradisi.

      3. Benar, pasti ada idiologi yang ingin dicapai. Misalnya menjadi orang seperti…… hidup dengan kemajuan seperti…… Itulah dampak dari budaya konsumerisme yang lebih kental dengan budaya popitu.

      4. Kemunculannya dalam masyarakat akibat gencarnya seperti iklan, gaya hidup, media dan lain-lain yang menawarkan citra modernitas tersebut.

      Salam

      Erond/Admin.

  2. saat ini tingkat kesadaran untuk melestarikan kebudayaan di kalangan anak muda begitu rendah. alangkah baiknya kita selaku generasi muda memiliki semangat yang tinggi untuk melestarikan kebudayaan Indonesia.


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar